Rabu, 15 Desember 2010

<iframe src="http://www.stafaband.info/embed-39254.html" width=100% height=70 scrolling="no" frameborder=0></iframe>

Senin, 13 Desember 2010

GEJOLAK REMAJA DI TINJAU DARI SEGI HAWA NAFSU DAN PAKAIAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Masa remaja adalah kelanjutan dari masa pubertas dimana ciri-ciri yang menonjol dari masa ini adalah masa masa peralihan yang penuh dengan gejolak dan ruang ketidak pastian serta ketidakjelasan. Maksudnya remaja bisa dikatakan masa yang yang serba nanggung juga masa yang penuh masalah atau masa dimana juga disebut juga sebagai gejolak remaja.
Disinilah, remaja harus berani melampaui batas hal-hal yang biasanya sudah dianggap sebagai doktrin disinilah bukan sekedar inklusif, namun sekaligus harus dapat memberi penutan, yang mampu melindungi setiap individu dan berbagai etnik tanpa dan bukan berarti melanggar norma-norma dalam masyarakat serta sumber hukum bangsa ini.
Seringkali para remaja mengadakan aksi demo, terutama pada kalangan mahasiswa yang ada di bangsa ini. Dan banyak remaja yang mengumbar hawa nafsunya serta sering melanggar etika dalam hal berpakaian
Kita sebagai remaja harapan bangsa harus jujur mengakui bahwa perbaikan atau penyembuhan krisis multi dimensional tidak sedikit yang kita rasakan. Namun juga harus jujur juga mengakui bahwa belum seluruh jenis krisis telah lenyap.

B.     Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini perlu diketahui penulis memfokuskan diri untuk membahas :
a.       Apa pengertian remaja
b.      Gejolak remaja dari segi hawa nafsu atau seksual
c.       Gejolak remaja dari segi berpakaian yang islami
d.      Upaya yang dilakukan dalam mengatasi gejolak remaja


C.    Tujuan
·         Memperbaiki sikap remaja dalam masa pubertas atau disebut gejolak remaja yang berlebihan dan melanggar norma-norma.
·         Mengetahui cara mengatasi gejolak remaja


























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Remaja
Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992).
Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria.

B.     Kesulitan Dan Bahaya Yang Dialami Oleh Remaja
Beberapa kesulitan atau bahaya yang mungkin dialami kaum remaja, antara lain :
1.      Variasi kondisi kejiwaan, suatu saat mungkin ia terlihat pendiam, cemberut, dan mengasingkan diri tetapi pada saat yang lain ia terlihat sebaliknya-periang berseri-seri dan yakin. Perilaku yang sukar ditebak dan berubah-ubah ini bukanlah abnormal. Itu hanya perlu diprihatinkan bila ia terjerumus dalam kesulitan, kesulitan di sekolah atau kesulitan dengan teman-temannya.
2.      Rasa ingin tahu seksual dan coba-coba, hal ini normal dan sehat. Rasa ingin tahu seksual dan bangkitnya birahi adalah normal dan sehat. Ingat, bahwa perilaku tertarik pada seks sendiri juga merupakan ciri yang normal pada perkembangan masa remaja. Rasa ingin tahu seksual dan birahi jelas menimbulkan bentuk-bentuk perilaku seksual.
3.      Membolos
4.      Perilaku anti sosial, seperti suka mengganggu, berbohong, kejam dan agresif. Sebabnya mungkin bermacam-macam dan banyak tergantung pada budayanya. Akan tetapi, penyebab yang mendasar adalah pengaruh buruk teman, dan kedisiplinan yang salah dari orang tua terutama bila terlalu keras atau terlalu lunak-dan sering tidak ada sama sekali
5.      Penyalahgunaan obat bius
6.      Psikosis, bentuk psikosis yang paling dikenal orang adalah skizofrenia.

C.    Gejolak Remaja dari Segi Hawa Nafsu
Masa remaja diawali oleh datangnya pubertas, yaitu proses bertahap yang mengubah kondisi fisik dan psikologis seorang anak menjadi seorang dewasa. Pada saat ini terjadi peningkatan dorongan seks sebagai akibat perubahan hormonal. Selain itu, karakteristik seks primer dan sekunder menjadi matang sehingga memampukan seseorang untuk bereproduksi (Steinberg, 2002). Mengenai dorongan seksual yang meningkat ini menjadikan seseorang remaja mulai belajar untuk mengetahui dan mencari informasi terkait seksualitas itu sendiri. Kemudian penyaluran hasrat yang dimilikinya juga menyertai proses belajar ini.
Disinilah poin penting yang harus diperhatikan, bahwa proses ingin tahu seputar seksualitas harus benar-benar tepat dan benar. Karena seringkali keingintahuan tersalurkan kepada hal – hal yang merugikan diri sendiri. Seperti akses pornografi melalui media. Dari penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Peduli Remaja Kriya Mandiri, media online menjadi tempat terbanyak yang dijadikan sarana untuk mengetahui informasi mengenai seksualitas. Dari jumlah responden 352 remaja yang masih berstatus pelajar di 10 sekolah tingkat atas di Surakarta, sebesar 56% menyatakan media online menjadi sarana untuk mengetahui informasi tentang seks, kemudian terbanyak kedua adalah teman sebaya sebesar 15% diikuti orang tua (12%), guru (9%), serta organisasi remaja dan lainnya masing-masing sebesar 4%.
Kemudian dari jumlah responden yang mengakses materi pornografi sebanyak 63% pernah mengakses materi pornografi baik berupa film, gambar maupun cerita porno. Meskipun penelitian ini tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh populasi remaja berusia sekolah yang ada di Kota Surakarta, akan tetapi cukup memberikan gambaran bahwa akses pornografi di kalangan remaja khususnya pelajar tingkat atas di Kota Surakarta dapat dikatakan cukup mengkhawatirkan terhadap perkembangan seksualitas dan psikologisnya.
Apabila dianalisis lebih jauh, akses pornografi yang kian marak merupakan dampak pendidikan seks yang salah dan kurang tepat dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab akan hal itu, seperti orang tua, guru serta pihak-pihak terkait lainnya. Kegagalan pendidikan seks ini umumnya adalah karena adanya anggapan seks merupakan sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan. Oleh karenanya, seorang remaja terkadang malu atau enggan untuk berkonsultasi dengan orang-orang dewasa yang lebih paham dengan masalah seksualitas. Sehingga mereka lebih nyaman menggunakan media online untuk mengakses informasi terkait dengan seksualitas. Masalah muncul karena keingintahuan seputar seksual ini tidak hanya berhenti pada informasi penting saja, akan tetapi kebablasan menjurus kepada hal – hal yang yang seharusnya tidak boleh dikonsumsi (materi pornografi) yang mempunyai efek destruktif yang mempengaruhi perilaku seksualnya.
Fenomena massifnya media – utamanya internet– di dalam proses degradasi moral remaja ini ditunjukan fakta lain, dalam penelitian Komunitas Jogja (2007) ditemukan 900 film porno buatan lokal dengan pemeran usia remaja Indonesia beredar di internet. Inilah bentuk shock culture yang terjadi dalam masyarakat kita. Dikatakan demikian karena budaya timur Indonesia yang sopan dan anggun mulai tergerus, mengalami pergeseran nilai menjadi budaya yang tidak lagi mengindahkan moralitas dan nilai-nilai agama. Jadilah budaya permisivisme dan prilaku yang penuh dengan kebebasan meracuni kehidupan remaja mulai cara berpakaian yang kurang sopan cenderung menampakkan aurat tubuh lantaran dianggap seksi, berkata jorok, seks bebas hingga perilaku seks menyimpang semakin marak terjadi.
Kemudian perilaku yang penuh dengan kebebasan seringkali mengarah pada kenakalan yang sangat mencemaskan. Sebut saja kenakalan yang menjurus pada perilaku seksual yang kurang bertanggung jawab. Sungguh mengejutkan saat menonton sebuah acara di televisi yang mengulas tentang adanya ‘Pecun’ atau perek cuma-cuma dikalangan remaja. Dengan mudahnya para remaja putri mengobral tubuh mereke pada laki-laki yang mereka inginkan tanpa dibayar sepeserpun.
Menurut mereka, mereka bukan pelacur. Karena apa yang mereka lakukan adalah karena kesenangan semata, bukan tuntutan keuangan. Istilah ‘one night stand’ atau hubungan satu malam saja pun sudah biasa terdengar. Bertemu di klab-klab malam atau bahkan di pusat perbelanjaan. Berlanjut dengan acara jalan dan kencanpun berakhir di sebuah kamar hotel.
Seringkali yang menjadi sasaran para remaja putri ini adalah pria-pria dari kalangan anak pejabat, artis terkenal atau remaja pria lain yang tergolong populer. Gaya hidup dengan pergaulan seks yang tidak bertanggung jawab juga mereka lakukan pada pacar sendiri. Dan dianggap sebagai ungkapan rasa cinta bila mereka akhirnya bisa tidur bersama.
Bila melirik sebuah tayangan film remaja, cukup mencengakan perlaku mereka di masyarakat. Film yang mengulas cukup gamblang perilaku kenakalan remaja adalah fim Virgin. Dikisahkan bagaimana tidak berharganya sebuah nilai keperawanan masa kini. Begitu mudah si remaja putri menjual kegadisannya hanya di sebuah toilet mall dengan harga sepuluh juta rupiah!. Tragisnya, uang hasil menjual kegadisan itu, hanya digunakan untuk membeli barang-barang mewah guna menunjang penampilan biar keren, biar gaul.
Karena tuntutan gaya hidup, maka kebiasaan menjual diri pun dilakukan terus menerus. Maka para pelacur beliapun banyak berkeliaran di mall-mall dengan seragam sekolah mereka. Katanya harga bisa tinggi bila masih sekolah. Sasarannya adalah om-om senang berkantong tebal. Sudah bukan rahasia lagi bila saat ini perilaku seperti ini banyak terjadi di kota-kota besar. Bukan karena tuntutan ekonomi, tapi karena tuntutan gaya hidup yang berlebihan
Sangat menyedihkan saat perilaku ini mengakibatkan tingginya angka aborsi dikalangan remaja. Karena perilaku yang tidak bertanggung jawab, maka seringkali kehamilan terjadi diluar kehendak mereka. Maklum, akibat kurangnya pengetahuan dan sikap sembrono, maka mereka cenderung tidak memakai pengaman. Sangat berbahaya mengingat hal ini menyangkut jiwa manusia dan kesehatan reproduksinya dimasa mendatang. Ketidak sadaran akan hal ini sungguh sangat mengkuatirkan.
Hal lain yang patut dikuatirkan adalah penggunaan obat terlarang yang marak beredar di pesta-pesta anak muda. Sudah biasa melihat teman-teman mereka mengkonsumsi sabu-sabu, mariyuana dan masih banyak lagi di depan mata mereka sendiri. Bahkan tidak gaul bila mereka tidak pernah mencoba sedikit rasa dari obat-obat ajaib itu.

D.    Gejolak Remaja Dari Segi Pakaian
Gaya berpakaian kaum perempuan Islam, terutama para remaja semakin hari semakin mengkhawatirkan. Mayoritas mereka tak lagi mengindahkan cara berpakaian yang benar menurut syariat Islam.
“Yang lagi trendi saat ini bagi remaja Islam adalah memakai celana dan baju ketat plus jilbab seadanya,”  padahal berpakaian dalam Islam tidak sekedar menutupi, tetapi juga melindungi aurat. Jika perempuan memakai celana dan baju ketat, sama saja mereka hanya menutupi tetapi tidak melindungi aurat.
Sebab, dengan celana dan baju ketat, tentu saja lekuk-lekuk tubuh pemakainya akan terlihat jelas. “Islam memang tidak melarang kita membuat berbagai gaya dalam berpakaian. Hanya saja, menutupi dan melindungi aurat harus lebih utama ketimbang gaya. Selama auratnya tertutup dan ter lindungi, gaya apapun silah kan.
Ironisnya lagi, generasi muda yang berpakaian seperti itu bukan hanya masyarakat biasa, tetapi juga anak-anak dari para ustadz, anak tokoh masyarakat, anak tokoh adat dan anak para pejabat. Bahkan tidak hanya generasi muda, sejumlah PNS perempuan dan istri pejabat pun ada yang berpakaian dengan gaya yang sama.
Maraknya generasi muda Islam berpakaian yang tidak sesuai dengan aturan Islam, ini  disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, lemahnya pemahaman mereka tentang cara berpakaian yang benar menurut Islam dan kedua lantaran kuatnya pengaruh gaya modernisasi dan ketiga Karena pengaruh pubertas atau gejolak remaja.
Agar masalah ini tidak semakin berat dan generasi kita tidak semakin terjerumus dalam cara berpakaian yang salah, semua pihak sudah saatnya punya perhatian sungguh-sungguh. Kita harus memberikan pemahaman yang benar bagaimana cara berpakaian yang sesuai menurut ajaran Islam.
Pemko bisa memasang baliho yang berisi gambar cara berpakaian muslimah yang benar.
Persoalan yang membutuhkan perhatian umat Islam bukan hanya cara berpakaian, tetapi juga cara bergaul, cara berbicara dan etika lainnya. Dengan pengaruh moderniasasi serta masa pubertas atau gejolak remaja, banyak generasi muda yang bergaul atau berbicaranya yang jauh dengan nilai-nilai Islam. “Kalau tidak dicermati dengan serius dari sekarang, bukan tidak mungkin masalah-masalah yang banyak menimpa generasi muda kota besar, seperti pergaulan bebas akan marak pula terjadi. Sebelum semuanya terlambat, mari kita bentengi generasi muda dengan pemahaman agama yang benar dan iman yang teguh,

E.     Upaya, Sikap dan Tugas Orang Tua Dalam Mengatasi Gejolak Remaja
Upaya mendidik anak dan remaja pada masa pubertas atau gejolak remaja antara lain:
·        Menanamkan kerinduan pada usaha yang mulia
·        Menyalurkan bakat fitri anak
·        Menjalin hubungan yang baik antara rumah, masjid, dan sekolah
·        Memperkuat hubungan orang tua, pendidik, dan anak
·        Menanamkan kecintaan anak pada belajar
·        Menyediakan sarana pembudayaan yang bermanfaat
·        Menanamkan tanggung jawab keislaman
·        Memperdalam semangat jihad

Sikap yang harus diambil orang tua dalam mengatasi gejolak remaja pada anak dan remaja :
1.      Mengetahui secara optimal perubahan-perubahan yang terjadi pada anak-anak mereka yang sedang remaja de¬ngan melakukan pengamatan yang jeli.
2.      Mengarahkan mereka (anak-anak) untuk selalu pergi ke masjid sejak kecil sehingga memiliki disiplin naluriah dan andil yang potensial dalam lingkungan rabbaniah. Jika dia seorang pemuda, anjurkan untuk membiasakan shalat berjamaah dan membaca A1 Qur’an.
3.      Membuka dialog dan menyadarkan mereka akan status sosial mereka.
4.      Menanamkan rasa percaya diri pada diri mereka dan siap mendengarkan pendapat-pendapat mereka.
5.      Menyarankan agar menjalin persahabatan dengan teman¬teman yang baik. Sikap tersebut dapat menjadi perisai positif dan menjauhkan mereka dari perbuatan-perbuatan nista.
6.      Mengembangkan potensi mereka di semua bidang yang bermanfaat.
7.      Menganjurkan kepada mereka untuk berpuasa sunah karena hal itu dapat menjadi perisai dari kebobrokan moral.

Tugas-tugas yang dilakukan oleh orang tua yang cukup baik, secara garis besar adalah:
1.       memenuhi kebutuhan fisik yang paling pokok; sandang, pangan dan kesehatan
2.      memberikan ikatan dan hubungan emosional, hubungan yang erat ini merupakan bagian penting dari perkembangan fisik dan emosional yang sehat dari seorang anak.
3.      Memberikan sutu landasan yang kokoh, ini berarti memberikan suasana rumah dan kehidupan keluarga yang stabil.
4.      Membimbing dan mengendalikan perilaku.
5.      Memberikan berbagai pengalaman hidup yang normal, hal ini diperlukan untuk membantu anak anda matang dan akhirnya mampu menjadi seorang dewasa yang mandiri. Sebagian besar orang tua tanpa sadar telah memberikan pengalaman-pengalaman itu secara alami.
6.      Mengajarkan cara berkomunikasi, orang tua yang baik mengajarkan anak untuk mampu menuangkan pikiran kedalam kata-kata dan memberi nama pada setiap gagasan, mengutarakan gagasan-gagasan yang rumit dan berbicara tentang hal-hal yang terkadang sulit untuk dibicarakan seperti ketakutan dan amarah.
7.      Membantu anak anda menjadi bagian dari keluarga.
8.      Memberi teladan.

























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik.
Kebanyakan para remaja banyak yang terlibat pergaulan bebas karena gejolak remaja yang tidak terimbangi pendidikan dan pengawasan dari orang tua, dimana banyak remaja yang mengumbar hawa nafsu dengan lawan jenisnya. Kemudian juga remaja sekarang sudah tak lagi mengenal kesopanan dari cara berpakaian yang dipengaruhi oleh modernisasi.
Upaya mendidik anak dan remaja pada masa pubertas atau gejolak remaja antara lain:
·        Menanamkan kerinduan pada usaha yang mulia
·        Menyalurkan bakat fitri anak
·        Menjalin hubungan yang baik antara rumah, masjid, dan sekolah
·        Memperkuat hubungan orang tua, pendidik, dan anak

B.     Saran
·         Jika terdapat kesalahan dalam hal penulisan kata penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun bagi penulisan selanjutnya.
·         Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembelajaran.






DAFTAR PUSTAKA

http://lutfifauzan.wordpress.com/2009/09/19/membina-remaja-muslim/

PERKEMBANGAN DAN PESONA SEJARAH ACEH BARAT (ISBD)


BAB I
PENDAHULUAN

Kabupaten Aceh Barat Daya lahir dengan dinamika sejarah yang sangat panjang dan berliku, yang dimulai semenjak dari masa orde baru sampai masa pasca reformasi. Kabupaten ini merupakan integrasi dari enam kecamatan. Dimekarkan dari kabupaten Aceh Selatan pada tanggal 10 April 2002, yang disahkan dengan Undang-Undang. Setelah menjadi kabupaten, Aceh Barat Daya, terbagi menjadi sembilan kecamatan, yang terdiri dari kecamatan Lembah Sabil, Manggeng, Tangan-Tangan, Suaq Setia, Blangpidie, Susoh, Jeumpa, Kualabatee, dan Babahrot, dengan ibukotanya Blangpidie.
Kabupaten Aceh Barat Daya secara geografis berada antara 3º.05’-3º.80’ Lintang Utara (LU) dan 96º.02’- 97º.23.03º Bujur Timur (BT). Secara garis besar, wilayahnya berada di belahan utara garis khatulistiwa sehingga beriklim tropik. Sebagian besar daerah ini berpanorama sangat indah karena merupakan deretan pegunungan Bukit Barisan dan Taman Nasional Gunung Leuser yang menghijau di bagian Utara dan bentangan maha luas membiru perairan Samudera Indonesia di pesisir Barat Daya dan Selatan.
Akses ke kabupaten ini dapat dilalui melewati jalur (rute) darat, laut dan udara. Jalur darat dapat dilakukan baik dari jalur Timur (Medan-Subulusaalam-Tapaktuan-Blangpidie) atau dari jalur Utara melewati Banda Aceh-Bereuneun- Tangse-Tutut-Meulaboh-Blangpidie (Jalur Atas). Selain itu melalui jalur Barat melewati Banda Aceh-Calang-Meulaboh-Blangpidie (jalur Bawah). Untuk jalur dari Aceh Tengah dapat dilalui Takengon-Angkop-Beutong-Nagan Raya (simpang Peut)-Blangpidie. Jalur tenggara dapat dilalui dari Blangkejeren-Terangon-Babah Rot-Blangpidie. Sedangkan melalui jalur laut, perjalanan dengan kapal laut dapat ditempuh dari dan ke Pelabuhan Labuhan Haji (Aceh Selatan) atau Pelabuhan bongkar muat barang Ujong Serangga di Teluk Susoh sampai ke Padang Sumatra Barat. Melalui kapal udara rute dilayani oleh Susi Air dari Bandara Polonia (Medan) ke Bandara Kuala Batu. Untuk rute dari Banda Aceh Bandara Sultan Iskandar Muda-Bandara Cut Nyak Dhien (Nagan Raya), dan landing di Bandara Kuala Batu Blangpidie (Aceh Barat Daya) dulu mengunakan pesawat SMAC (Sabang Meurauke Air Charter)

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Etnografi Aceh Barat Daya
“Meunyo meugo u Blangpidie tajak ligat, meunyoe ibadat bak Teungku Muda”. Maknanya, “kalau bertani ke Blangpidie dengan segera ; kalau beribadat kepada Teungku Muda.
Masyarakat Aceh Barat Daya bermata-pencaharian di sektor agraris dengan pertanian dan perkebunan sebagai lahan pekerjaan dan pendapatan terbesar. Sebagian lagi merupakan komunitas pantai yang bermatapencaharian sebagai nelayan yang menggantungkan hidupnya dari perikanan laut dan perairan di sekitar air payau serta rawa-rawa. Selebihnya bekerja di sektor perdagangan, pertukangan, buruh, pegawai pemerintah ataupun swasta.
Berdasarkan etnografi, kabupaten Aceh Barat Daya berpenduduk heterogen, yang terdiri dari beberapa etnis pendatang yang menetap di sana. Etnis Batak atau yang disebut leco atau maco adalah penghuni “asli” dari ras Protomelayu. Mereka tinggal di sekitar Guha Batak di hulu Krueng Beukah di pedalaman Blangpidie.
Pada fase selanjutnya, datang etnis Aneuk Jamee yang merupakan penduduk migrasi dari Sumatera Barat. Di samping itu juga ada pendatang dari etnis Melayu pesisir dari bagian selatan Sumatera Utara. Para migran ini cenderung mendiami daerah pesisir pantai dan tepian muara sungai-sungai besar atau di sepanjang garis pantai di Aceh Barat Daya.
Migrasi penduduk selanjutnya, datang dari etnis Aceh khususnya dari Aceh Besar yang membuka perkebunan lada. Kemudian disusul oleh kedatangan para petani dari etnis Pidie yang membuka lahan pertanian padi.
Kedatangan penduduk minoritas lainnya, seperti Jawa, Cina, dan Mandailing. Mereka telah mengalami asimilasi dalam pluralitas sehingga kemudian dapat menyebar ke seluruh kenegerian di Aceh Barat Daya. Sedangkan orang-orang Cina sejak kedatangannya, tetap berkonsentrasi di sekitar kota Blangpidie, karena adanya perbedaan agama dan kepercayaan dengan penduduk lainnya. Pada mulanya zelfbestuurden Blangpidie berada di bawah hegemoni kenegerian Susoh, namun kemudian berdiri sendiri menjadi zelfbestuur.

1.      Wilayah Kenegerian Manggeng
Wilayah Manggeng terbentang mulai dari Ujong Lhok Pawoh di perbatasan dengan Tangan-Tangan di bagian Barat sampai tepian Krueng Baru di sebelah Timur. Kenegerian Manggeng terdiri dari dua uleebalang, yaitu uleebalang Bak Weu di Lembah Sabil dan uleebalang Manggeng. Kedua wilayah itu dipimpin oleh Datok Beusa. Setelah Datok Beusa meninggal dunia, anak-anaknya menjadi pewaris menggantikan posisinya. Beberapa pergantian uleebalang terjadi di Manggeng.
Pada masa pemerintahan uleebalang Teuku Sandang, ia melakukan kesalahan sehingga sempat diasingkan ke Batavia (Jakarta). Posisinya digantikan oleh Teuku Mamat, namun kemudian digantikan lagi oleh Teuku Muda Nana dan Pemangku Nyak Blang. Setelah Teuku Sandang selelsai masa pengasingannya, ia diangkat kembali menjadi uleebalang Manggeng. Tidak lama kemudian, ia digantikan oleh Teuku Iskandar sampai tahun 1933, yang merupakan raja yang terakhir di kenegerian Manggeng.
Penduduk di kenegerian Manggeng sebagian besar berasal dari XXV Mukim Aceh Besar yang berbaur dengan orang Minangkabau (etnis Aneuk Jamee). Mereka tersebar di gampong Manggeng (di sebelah Barat Krueng Manggeng) dan di gampong Bak Weu di Lembah Sabil (sebelah Selatan Krueng Manggeng). Mata-pencaharian mereka adalah bertani di ladang dan sedikit yang menanam padi di sawah. Sedangkan lada tidak dapat berkembang dengan baik di sana. Hasil-hasil pertanian di kenegerian Manggeng diekspor melalui pelabuhan di kenegerian Susoh.

 2.      Wilayah Kenegerian Blangpidie
Pada tahun 1885, Teuku Ben Mahmud Setia Raja mulai memerintah di kenegerian Blangpidie. Besluit Belanda di Blangpidie adalah Teuku Raja Sawang berdasarkan perjanjian Pulo Kayee tahun 1884. Setelah kematian Teuku Raja Cut, keturunan dari Teuku Ben Mahmud yang dianggap sebagai penguasa sah di Blangpidie. Sepuluh tahun kemudian, yakni tahun 1895, Teuku Ben Mahmud menyerang uleebalang Tapaktuan karena dianggap telah bekerjasama dengan Belanda, di bawah pimpinan Teuku Larat.
Dalam penyerangan itu putra Teuku Ben Mahmud, Teuku Banta Sulaiman ditawan Belanda beserta dengan puteri Teuku Larat, Cut Intan Suadat. Setelah peristiwa itu, mereka kemudian dinikahkan. Penyerangan itu terkenal dengan Perang Jambo Awe, di mana panglima penyerangannya dipimpin oleh Teungku Jambo Awe yang berasal dari Seunagan, Nagan Raya.
Pada awal pendudukan di Aceh Barat Daya, Belanda melakukan politik korte verklaring (perjanjian singkat) kepada setiap kepala negeri yang ada di sana. Pada sisi lain, rakyat serta-merta tidak mau tunduk begitu saja di bawah kekuasaan kolonial. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebagian pemimpin yang tidak mau dijajah, kemudian bangkit menggerakkan pengikutnya melakukan resistensi untuk mengusir kolonial dari “Bumo Breuh Sigeupai”.
Tahun 1900, pasukan marsose Belanda memasuki kota Blangpidie, setelah memindahkan posisinya dari Susoh. Belanda membangun tangsi bagi marsose dengan kekuatan satu Satuan Setingkat Kompi (SSK). Sejak adanya tangsi Belanda di Blangpidie, kota ini semakin berkembang pesat sebagai pusat perdagangan antar kenegerian di Aceh Barat Daya saat itu.
Perkembangan perdagangan di kota Blangpidie sangat signifikan karena merupakan basis agraris terbesar di wilayah bagian Barat Selatan Aceh terutama sebagai penghasil padi serta didukung situasi keamanan dan kedudukan pusat militer Belanda. Daya tarik ini mendatangkan minat dari para pedagang Cina dari Sibolga (Sumatra Utara) dan Padang (Sumatera Barat) untuk membangun pertokoan di Blangpidie. Perkembangan kota Blangpidie sebagai pusat perdagangan semakin bertambah ramai, semenjak dibukanya akses jalan raya mulai dari Kutaraja sampai ke Tapaktuan Aceh Selatan oleh Belanda.
Pada tahun 1901, Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 500 orang memporak-porandakan pasukan marsose Belanda di bawah pimpinan Letnan Helb. Pada tahun 1905, tangsi Blangpidie kembali diserang oleh pasukan Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 200 pejuang dengan senjata api dan kelewang. Penyerbuan fase kedua ini ke dalam tangsi Belanda itu, telah menewaskan 47 orang pejuang dari Aceh Barat Daya. Hal itu terjadi, karena kurang persiapan dan taktis serta ketidakseimbangan kekuatan antara pejuang dengan pasukan Belanda yang ada di dalam tangsi Marsose di Blangpidie.
Pada tahun 1910, wilayah Blangpidie dibagi menjadi empat landschappen yang dipimpin zelfbetuurden atau uleebalang cut, yaitu Pulo Kayee, Kutatuha, Lampohdrien dan Kutatinggi. Keempat wilayah uleebalang cut ini merupakan rangkaian wilayah yang terbentang, mulai dari Pulo Kayee sampai ke Alue Rambot di sebelah barat dan Panton Seumancang sampai ke Paya di sebelah timur.

B.     Sekilas Teungku Peukan
Berdasarkan literatur menyebutkan bahwa Teungku Peukan adalah seorang ulama yang karismatis di daerah zelfbestuur Manggeng. Kini Manggeng dan Lembah Sabil adalah nama kecamatan yang secara geografis berada di bagian timur wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya. Orangtua Teungku Peukan merupakan seorang ulama atau pemuka agama Islam yang bernama Teungku Padang Ganting sedangkan ibunya bernama Siti Zulekha. Teungku Peukan dilahirkan di Manggeng pada sekitar tahun 1886, yaitu ketika kerajaan Aceh telah mengalami fase awal peperangan dengan Belanda sejak penyerangan posisi pertahanan Aceh di Mesjid Baiturrahman pada tanggal 18 April 1873, karena kerajaan Aceh tidak menerima isi Perjanjian “Traktaat Sumatera”, yaitu suatu perjanjian antara Belanda dan Inggris dalam menentukan posisi mereka di Sumatera dan sekitar selat Malaka.
Berdasarkan putusan itu, Belanda merasa berhak menguasai Aceh karena masih merupakan wilayah Sumatera. Namun pihak kerajaan Aceh masih menghormati perjanjian Traktaat London yang membebaskan Aceh dalam melakukan perdagangan dengan negara-negara asing, khususnya Inggris, Turki, dan lain-lain.
Teungku Peukan dilahirkan pada fase awal pergolakan Belanda melawan Aceh, hal ini tentu saja mempengaruhi watak beliau semasa dewasa. Terutama dalam pembentukan nilai dan spirit melawan kolonialisme dengan memberi stigma “kaphe” sehingga memeranginya adalah kewajiban bagi setiap muslim. Penolakan keberadaan dan pergolakan terhadap kolonial Belanda yang terbentuk secara psikologis mempengaruhi karakteristik masyarakat Aceh yang sangat antikolonial dengan menyebut mereka kafir (kaphe murakab).
Berangkat dari figur orangtua seorang ulama yang karismatik di kenegerian Manggeng, yang menurunkan watak Teungku Peukan yang tinggi kecintaannya kepada agama dan negerinya seperti yang telah dianjurkan oleh agama Islam, sehingga kewajiban membela Islam dari kolonial sangat kentara mewarnai perjuangan Teungku Peukan. Hal itu terlihat ketika persiapan menjelang penyerangan, di mana diadakan “pembersihan diri” dengan melakukan wirid dan zikir untuk memohon restu dari Allah SWT. Sebagai pemimpin agama dan elit masyarakat di Manggeng tentu saja membuat dimensi lain dari resistensi Teungku Peukan yang bernuansa jihad fisabilillah terhadap kolonialis Belanda di Aceh Barat Daya.
Kenyataan ini diwaspadai oleh Belanda karena kekuatan yang masih bertahan di Aceh hanyalah kekuatan dari ulama seperti Teungku Dayah, Teungku Rangkang dan Teungku Meunasah, karena “bangsawan” sudah dapat “dipengaruhi” dengan pemberian fasilitas dan akses yang besar dalam penguasaan pungutan belasting atau pajak dan juga sistem penyelesaian sengketa di dalam masyarakat di wilayah uleebalangnya, sehingga masyarakat cenderung menjadi oposisi terhadap bangsawan karena kebijakan represifnya.
Posisi Teungku Peukan sebagai leader of spiritual dalam masyarakat di Manggeng menghadapi kolonial Belanda, menjadi pemicu peningkatan moralitas para pendukungnya. Figur ulama menjadi barometer atau motor utama dalam resistensi terhadap kolonialisme di Aceh Barat Daya, di samping perjuangan yang digerakkan oleh kaum feodal atau bangsawan. Namun setelah Belanda berhasil melakukan pengkajian terhadap peta kekuatan dan melihat dua sisi internal yang sangat berpengaruh di dalam masyarakat Aceh yaitu teungku/pemimpin agama dan uleebalang sebagai pemimpin adat. Kedua kekuatan itu dianggap seperti dua sisi mata uang yang saling berkaitan erat antara satu sisi dengan sisi lainnya, sehingga keduanya harus “dipressure” agar mau bekerjasama.
Pengaruh ajaran Islam sangat besar dalam menggerakkan resistensi terhadap kolonial. Islam telah mewanti-wanti kewajiban seseorang atau kaum untuk membela diri, agama dan tanah air hingga ke tetes darah penghabisan dengan imbalan surga sebagai “reward”. Hal inilah yang membuat perang di Aceh menjadi unik dan spesifik ketika melawan kolonial Belanda, yaitu perang terbesar dan terpanjang dalam sejarah di wilayah Indonesia.
Kondisi ini juga diwaspadai Belanda sehingga perlu dipisahkan kekuatan yang telah menyatu tersebut sebagai upaya menjaga kontrol hegemoni dari kolonial untuk kelanggengan posisinya di Aceh Barat Daya. Upaya mereka terlihat dengan adanya rekrutmen intelijen dan spionase dari masyarakat untuk memantau aktivitas dakwah Teungku Peukan yang dianggap dapat mengancam posisi Belanda di sana. Ulah intelijen dan spionase lokal yang digunakan Belanda tersebut, bermuara kepada pemboikotan terhadap aktivitas-aktivitas dakwah yang dilakukan Teungku Peukan di sekitar kenegerian Manggeng.
Taktik devide et impera sangat ampuh diterapkan Belanda di Aceh Barat Daya, namun belum berhasil membangkitkan amarah Teungku Peukan untuk segera melakukan resistensi. Padahal beberapa kerabat Teungku Peukan ingin menyegerakan resistensi terhadap kolonial tersebut. Belanda terus memancing amarah Teungku Peukan dengan pengajuan penarikan pajak tanah atau belasting yang sudah tiga tahun dibebaskan oleh uleebalang Manggeng kepadanya. Teungku Peukan tetap tidak mau membayar pungutan belasting tersebut. Berdasarkan alasan inilah kolonial Belanda berkeinginan menangkap Teungku Peukan untuk diadili. Namun, beliau terlebih dahulu menyiapkan siasat dengan menyerang secara ofensif tangsi Belanda melalui pengerahan massa, terutama mereka yang beroposisi dengan uleebalang Manggeng. Dalam penyerangan ini Teungku Peukan dibantu kerabat dan simpatisannya.
C.    Peristiwa 11 September 1926
Serangan fajar secara sporadis dan dahsyat dilakukan oleh pasukan Teungku Peukan menjelang subuh bertepatan masuknya hari Jum’at tanggal 11 September 1926. Serangan dari pejuang pengikut Teungku Peukan pada Subuh itu membuat serdadu Belanda di dalam tangsi kucar-kacir. Sebagian marsose yang sedang tertidur pulas ditewaskan dengan serangan kelewang dan rencong pejuang Aceh Barat Daya. Sebagian lainnya terluka dan hanya tiga marsose yang selamat dalam serangan fajar itu.
Dikisahkan, dalam serangan itu beberapa kali senapan marsose Belanda tidak dapat meletus ketika akan menembaki para pejuang di pihak Teungku Peukan. Para pejuang dari “Bumo Breueh Sigeupai” terus maju menggempur dan memporak-porandakan marsose dan isi tangsi Belanda. Serangan di pagi itu ke dalam tangsi Belanda membuat “banjir darah” di Blangpidie, baik di pihak pejuang maupun marsose. Sebagai wujud rasa syukur, Teungku Peukan kemudian mengumandangkan azan.
Saat mengumandangkan azan, seorang marsose Belanda melepaskan tembakan yang membuat Teungku Pekan “syahid” ke pangkuan “Bumo Persada”. Dalam situasi dan kondisi yang sangat genting, Teungku Muhammad Kasim (putra Teungku Peukan) menjadi emosional dan dengan serta-merta menyerang dengan semangat “tueng bila”. Ia meraih potongan pecahan kaca yang bertaburan di dalam tangsi untuk menghantam tubuh salah seorang marsose. Sebelum kaca mengenai tubuh lawan, hantaman peluru dari marsose lainnya menembusi tubuhnya yang membuat beliau ikut gugur di dalam serangan itu.
Teungku Peukan kemudian dimakamkan tidak jauh dari lokasi tertembak dan gugur, yaitu di sekitar Mesjid Jamik Blangpidie dekat tangsi Belanda. Beliau meninggal pada hari Jum’at, tanggal 11 September 1926. Dalam serangan itu, bersama Teungku Peukan, gugur lima orang pejuang lainnya.
Beberapa panglima dan pejuang yang selamat, melarikan diri dan kembali bergerilya di hutan-hutan di daerah pedalaman Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan, di antaranya Pang Paneuk dan Sidi Rajab.
Sistem lini konsentrasi yang dilakukan Belanda semakin ketat, membuat para pejuang Aceh Barat Daya banyak yang gugur dan tertangkap. Mereka diinterniran ke pulau Jawa, seperti Waki Ali dan Nyak Walad, sedangkan Said Umar “dibuang” ke Makassar Sulawesi Selatan.
Pada bulan Maret 1927, saat pasukan marsose melakukan sweeping ke markas gerilyawan di Gunong Sabi, mereka kembali disergap oleh pejuang Aceh Barat Daya. Dalam penyergapan itu, beberapa korban jatuh di pihak marsose Belanda. Teuku Nana sebagai uleebalang Manggeng yang dituduh menutup-nutupi laporan tentang aktivitas para gerilyawan kepada Belanda mengakibatkan ia dicopot dari jabatan sebagai uleebalang Manggeng. Setelah itu uleebalang Mangeng dipegang oleh beberapa pengganti, di antaranya Cut Mamat. Baru pada tahun 1933 Belanda mengangkat Teuku Raja Iskandar menjadi uleebalang di Manggeng.

D.    Pesona Sejarah dan Budaya
Aura keindahan, kekhasan wilayah dan keramahan penduduk di kabupaten ini sungguh terasa saat kita menjajakkan kaki di runway Kuala Batu kalau kita memakai jasa penerbangan perintis atau dengan perjalanan darat rute Medan ke Blangpidie atau Banda Aceh ke Blangpidie dengan armada L-300 Colt atau dengan mobil pribadi. Di kota “store” ini, ”wisatawan” disuguhi dengan perjalanan becak dayung ataupun mesin yang menggunakan motor. Keramahan pelayanan dan kemudahan akses dengan menggunakan becak motor ke hotel-hotel penginapan yang sangat murah namun dengan pelayanan super cepat dan super ramah. Hal ini yang diakui penikmat keindahan dengan nilai kepuasan saat kembali dari kota ini.
Kabupaten ini memiliki kekayaan dengan potensi wisata, baik sejarah, ziarah maupun budaya karena di sana terdapat beberapa situs dan makam seperti Makam Teungku Peukan dan Shewbuntar juga situs Lama Muda. Juga memiliki kekayaan kebudayaan berupa berbagai jenis tarian seperti Rapai Geleng yang berasal dari Manggeng dan tarian Meuseukat . Selain itu juga agenda kearifan lokal yang berhubungan dengan pranata hidup masyarakat di sana.
Letak wilayah yang berada di pesisir Samudera Hindia/Indonesia ternyata menyimpan beragam kekayaan wisata seperti pantai dengan pasir putih dan dipenuhi cemara seperti pantai Bali, Pantai Jilbab, Pantai Cemara Indah. perairan lautnya yang semua masih berada di sekitar garis imajiner khatulistiwa. Akibatnya adalah terjadi pergantian arus musson Timur dan Barat sehingga adanya bergantian kemarau dan penghujan. Hujan di sekitar pesisir Barat dan Selatan mengakibatkan pertumbuhan plankton yang subur dan kandungan oksigen yang melimpah mengakibatkan kekayaan terutama biota laut seperti berbagai jenis ikan dan taman-taman laut yang indah di sekitar teluk Kuala Batu dan Lama Muda.
Di samping itu juga terdapat pulau-pulau kecil yang sangat indah di antaranya pulau Gosong, delta Krueng Beukah Pulo Kayee, delta Kreung Babahrot ataupun Krueng Semayam di Kuala Batu yang terdapat ekosistem hutan bakau (mangrove) yang luas dan indah di delta Lama Muda dan Lama Tuha yang sangat indah menyerupai danau-danau besar bening dan air tenang dengan pulau-pulau bakau indah juga kaya wisata air.
Di atas dahan-dahan cemara dan bakau dipenuhi dengan berbagai jenis burung dan di dalam air danaunya terdapat berbagai jenis kerang, seperti tiram dan karang kitang (sejenis siput air tawar bercampur asin atau rawa) yang bisa langsung diambil wisatawan yang datang ke sana untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh alam yang sangat enak.
Kawasan ini sungguh eksotis dan dipenuhi dengan ikan-ikan segar yang baru dipancing atau dijala di laut dan langsung bisa dibakar di tempat itu juga karena di sekitar terdapat hutan bakau dan cemara yang menyediakan ranting-ranting kering yang bertebaran jatuh di bawah pohonnya.
Jika sudah jenuh menjejakkan kaki dan aroma pantai, anda dapat meninggalkan suasana pantai menuju bagian Utara atau Tenggara kabupaten ini, anda akan disuguhi wilayah pegunungan Bukit Barisan yang sejuk dan sangat panjang luas membentang. Kehijauannya ekosistem Leuser yang sangat luas dan mahakaya habitat biota, baik flora dan fauna yang sangat beragam di dunia.
Dari hulu Leuser yang rimbun, mengalirkan air ke sungai-sungai besar dengan air yang sangat bening dengan arus tenang sampai dengan riam-riam berbatuan besar dan air berarus tajam. Sungai-sungai ini juga kaya akan pertumbuhan “ikan jurong” atau ”engkout kereuling” dan ikan-ikan air tawar yang beragam lainnya. Di pinggiran sungai terdapat hamparan permadani alam dari persawahan penduduk desa yang sangat indah.
Kabupaten Aceh Barat Daya merupakan salah satu pusat bisnis yang potensial apalagi pasca tsunami tahun 2004. Kabupaten baru berusia lima tahunan ini hampir dapat menyamai rival sesama kota bisnis di bagian Barat-Selatan Nanggroe Aceh Darussalam yaitu kota Meulaboh. Daya tarik bisnis di Aceh Barat Daya yang beribukota di kota Blangpidie ini didukung sistem agraris berupa plantation masyarakatnya sawit dan coklat, pala dan kacang tanah serta palawija lainnya.
Di samping itu, sektor perikanannya juga menyumbang devisa yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat di sana. Kestabilan dalam perekonomian, menciptakan suasana masyarakat aman, tentram dan damai dalam harmonisasi dari etnis-etnis yang mendiaminya.


BAB III
PENUTUP

A.    S i m p u l a n
Teungku Peukan sebagai leader of spritual dan sekaligus pejuang dalam masyarakat Manggeng Aceh Barat Daya. Keheroikan dan kearifan beliau dalam memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakat lokal dari kebijakan represif kolonial Belanda melalui tekanan uleebalang harus tetap dihargai. Kebijakan Belanda yang eksploitatif dalam mengeksplorasi sumber daya alam dan tenaga, terutama pungutan belasting atau pajak bumi dan rodi untuk kepentingan kolonialisme di “Bumo Breuh Sigeupai” memang harus tetap dilawan.
Setelah Teungku Peukan syahid dan tertangkapnya beberapa tokoh perlawanan dan perjuangan lainnya, di Aceh Barat Daya serangan terhadap marsose Belanda masih saja terjadi dari akhir tahun 1926 hingga tahun 1930-an. Hal ini akibat dari represivitas dari sistem lini konsentrasi yang dilakukan Belanda membuat kepanikan di dalam masyarakat Aceh. Setelah serangan Teungku Peukan di tangsi Blangpidie pada tahun 1926, Guru Ceubeh dan pengikutnya kembali melakukan penyergapan marsose Belanda di Gunong Sabi, pada tahun 1933. Serangan-serangan ini adalah bukti konkret dari eksistensi resistensi masyarakat terhadap kekuasaan kolonial di Aceh Barat Daya.
Sampai akhir kekuasaannya di Aceh Barat Daya kolonial Belanda masih saja menerapkan politik “kekerasan” dalam mengeksploitasi sumber daya alam, terutama dalam pungutan pajak tanah (belasting) dan pengerahan tenaga dalam menggenjot “finansial” mereka. Saat “zaman malaisse” menghantam perekonomian dunia saat itu, perekonomian kolonial semakin fluktuatif sehingga pada tataran lokal peranan uleebalang semakin digenjot. Akibatnya, sebagai puncak kekesalan masyarakat maka lahirlah bentuk-bentuk resistensi lain terhadap kolonial seperti yang dikenal dengan Atjehmoorden, baik yang dilakukan secara individual ataupun secara berkelompok terhadap akses-akses dan kepentingan kolonial di Aceh Barat Daya.

B.     S a r a n
Perjuangan Teungku Peukan dan pejuang-pejuang lainnya adalah representasi keheroikan pahlawan Aceh Barat Daya yang telah berjuang dengan kegigihan dan ketabahan hingga titik darah penghabisan terhadap eksistensi kolonialisme. Kiranya perjuangan dan ketabahan itu dapat memberi “spirit” bagi stakeholder dalam membangun daerahnya, bagi kemakmuran rakyat dengan menghargai jasa-jasa perjuangan para pahlawannya demi kejayaan daerah, bangsa dan negara.
Publikasi terhadap keberadaan pejuang atau pahlawan di daerah harus dilakukan, seperti pembangunan monumen dan pembuatan prasasti pada pusara “para syuhada” perlu segera dilakukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Posisi makam Teungku Peukan yang sangat strategis di tengah kota Blangpidie, tepatnya di kompleks sebelah Barat Mesjid Jamik Blangpidie dan sekitar tangsi Belanda merupakan aset potensial bagi “wisata ziarah” dan “wisata sejarah” di kabupaten ini, sehinga harus tetap dilestarikan dan menghindari perilaku vandalisme yang semakin marak dilakukan.












DAFTAR PUSTAKA

Abubakar. H. Said., 1995, Berjuang Untuk Daerah : Otonomi Hak Azazi Insani, Banda Aceh : Yayasan Nagasakti.

Ahmad, Zakaria,(ed)., 2007, Negeri dan Rakyat Aceh Barat Daya Dalam Lintasan Sejarah Menuju Daerah Otonom, Blangpidie : Pemda ABDYA.

Bappeda Abdya., 2003, Aceh Barat Daya Dalam Angka, Blangpidie : Pemda Aceh Barat Daya.

Doup, A., Beknopt Overzicht van de Krujggeschiedenis van Tapa’toean en de Zuidelijk Achehsche Landschappen Korps Marechausse Atjeh April, 2.1890-1940.

Harian Kompas, 1 April 2004., Kabupaten Aceh Barat Daya, Jakarta: PT Gramedia.

Suara Rakyat Abdya., 2007, Dari Napak Tilas Teuku Peukan 10 September 2007. Edisi Kedua, Blangpidie : DPRK Aceh Barat Daya.

Tarmizi Ismail., Agustus 2004, Gambaran Umum Perintis Kemerdekaan RI Pejuang Daerah dan Cita-Cita Bangsa Saat Ini, Makalah Seminar Sehari Untuk Siswa,SD,SMP, dan SMA Se-Kabupaten ABDYA, Blangpidie : Dinas Sosial Kabupaten ABDYA.

Undang-Undang No. 4 Tahun 2002, Tanggal 10 April 2002, Lembaran Negara No. 17 Tahun 2002/Tambahan Lembaran Negara No. 4179

Z.Thamrin,M., 2007., Peranan Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan dalam Perang Kemerdekaan di Aceh, Majalah Swadaya Edisi 04/I/April 2007 Jakarta : Swadaya.